BENCANA DISEKITAR KITA

MARI KURANGI RISIKO BENCANA SEKARANG JUGA

Rabu, 25 April 2012

perempuan,pangan dan perubahan iklim

membaca mengikuti perubahan yang terjadi




Perempuan, Pangan dan Perubahan Iklim
Oleh Julius Nakmofa
Selasa, 2 November 2010 | 00:14 WITA
TANGGAL  14 Oktober 2010 yang lalu, kita kembali merayakan Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Perayaan ini sekaligus memperingati lahirnya Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada tahun 1979, yang pada waktu itu didahului sidang umum Organisasi Pangan dan Pertanian se-dunia di Kota Roma dengan tema yang diangkat "Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan".

Kini, setelah 30 tahun sejak dicetuskannya komitmen kemandirian pangan untuk memerangi kelaparan, muncul pertanyaan reflektif, apakah saat ini, bangsa ini, daerah kita, masyarakat kita telah siap memerangi kelaparan? Mengapa pula, setiap tahun di berbagai pelosok negeri, ada masyarakat yang berteriak rawan pangan? Apakah perubahan iklim bisa diduga sebagai penyebab utama? Ataukah kita tidak cukup bijak menentukan langkah-langkah strategis mempersiapkan, menanggulangi dan terutama mewujudkan ketahanan pangan?


Potret Ketahanan  Pangan Masyarakat
Konsep ketahanan pangan adalah akses terhadap pangan, seiring dengan makin mengemukanya teori hak/akses (pertama kali dikembangkan oleh Amartya Sen, 1981) sebagai paradigma baru yang utama dalam pergeseran pemahaman tentang kelaparan dan tentang mengapa orang-orang atau rumah tangga-rumah tangga tertentu terkena imbas bencana ini. "Kelaparan terjadi karena sejumlah besar orang menderita kemerosotan telak dalam hak dan akses terhadap pangan; meskipun pangan itu tersedia, namun tidak terjangkau."

Akses terhadap pangan adalah bagaimana orang memperoleh makanan, dan bagaimana mereka makan. Kemampuan orang untuk mendapatkan pangan tercermin dalam hak-hak mereka untuk melakukan tukar-menukar. Analisis Sen tentang kelaparan berpusat pada cara-cara legal yang memungkinkan orang memperoleh makanan (cara-cara yang dibolehkan menurut hukum, karenanya dinamakan HAK), di dalamnya termasuk hak berdasarkan produksi (budidaya tanaman panan/ternak, dan lain-lain), hak berdasarkan tenaga kerja (profesional, pekerja dengan upah/gaji), hak berdasarkan perdagangan (tidak membudidayakan, tapi memungut dan atau mengolah hasil yang  kemudian ditukarkan di pasar, misalnya produk sumber daya alam), hak berdasarkan warisan dan pengalihan atau transfer (pinjaman, sumbangan, dan sebagainya).

Dalam konteks Nusa Tenggara Timur harus diakui jujur ketahanan pangan belum dimiliki oleh seluruh petani. Situasi ini menjadi bahan diskusi, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya, tapi tak ditemukan jalan keluarnya. Mengapa? Karena 89 % penduduk NTT bermata pencaharian petani. Dari jumlah itu, 79 % di antaranya petani lahan kering, dengan jagung sebagai makanan utama. Itu berarti sebagian besar penduduk NTT menggantungkan hidupnya terutama pada kondisi alam dan tanah. Sebagai wilayah yang beriklim kering dengan curah hujan terbatas membuat banyak orang terjebak mengamini bahwa masalah ketidakamanan pangan dengan berbagai dampak seperti busung lapar, gizi buruk yang senantiasa menimpa disebabkan oleh kemiskinan, daya dukung kondisi alam yang kurang menguntungkan, termasuk ancaman kekeringan yang berulang. Di satu sisi kita sering menjadikan kondisi empat bulan basah (November-Februari), dan delapan bulan kering (Maret-Oktober), tanah yang bersolum tipis dengan topografi yang berbukit-bukit sebagai alasan pembenaran terhadap setiap kasus ketidakamanan pangan. Di sisi lain, ketika bicara pangan selalu dikaitkan dengan beras. Padahal di sebagian besar wilayah NTT, ketika dibuat pemeringkatan makanan pokok, jagung selalu menempati urutan pertama setelah beras dan ubi-ubian.

Lalu, mengapa selalu mengalami rawan pangan? Tentu ada banyak alasan. Mungkin kita berpikir alam tidak lagi bersahabat dengan manusia sehingga tidak hanya kondisi tanah dan iklim, tetapi terjadinya berbagai jenis bencana yang silih berganti, misalnya banjir, angin, kekeringan, hujan berlebihan, hama tanaman cenderung sekedar fenomena alam semata. Pemikiran ini membuat kita terjebak dan meluputkan kultur politik kekuasaan dan ekonomi yang cenderung menghasilkan kebijakan politik pertanian yang tidak berorientasi pada petani kecil. Dukungan struktur ekonomi dan politik perdagangan sebagai ekspresi globalisasi ekonomi pasar bebas yang merangsek sampai ke sudut-sudut kehidupan petani juga semakin memperparah kondisi pangan kita.


Sumber penghidupan
Pada umumnya masyarakat (petani) NTT memiliki sumber penghidupan atau mata pencaharian untuk memperoleh pangan melalui pertama, produksi sendiri (direct entitlement). Di sini, tanah dan keadaan alam menjadi kunci serta berbagai prayarat lain misalnya, lahan, tenaga produktif, peralatan dan keterampilan mengolah lahan. Kedua, dagang (exchange entitlement). Di sini terjadi peralihan sistem pertanian subsistem menuju sistem pertanian berorientasi pasar. Masyarakat berdagang, misalnya menjual hasil tanaman komoditi, tenunan, anyaman, dan lain-lain untuk mendapatkan uang lalu membeli makanan dengan prasyarat akses terhadap pasar (sarana dan prasarana), serta harga. Ketiga, dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan dan sosial (social entitlement). Keempat, tenaga kerja di mana masyarakat menjual jasa. Menjual tenaga menjadi buruh, tukang ojek, pembantu rumah tangga dengan prasyarat harus memiliki ketrampilan (skill), lapangan pekerjaan.


Strategi adaptasi

Ke empat sumber penghidupan di atas diusahakan dan dikembangkan untuk memenuhi persediaan dan membangun ketahanan pangan. Semuanya mengandalkan kapasitas lokal yang dimiliki. Hasil diskusi PMPB pada 24 desa di Kabupaten TTS, TTU dan Belu menunjukkan masyarakat juga mengenal strategi lainnya seperti, 1) melakukan diversifikasi tanaman pangan, yaitu menanam lebih dari satu tanaman pangan. 2) petani tidak hanya memiliki satu kebun. Berbagai jenis tanaman pangan ditanam pada beberapa kebun sekaligus. 3) untuk membeli pangan, petani menjual hasil-hasil komoditas (kemiri, kakao, kopra, siri pinang dll), sayur-sayuran, hasil hutan, kerajinan tangan dan ternak. 4) menyimpan pangan. 5) kebiasaan meminjam pangan dari tetangga atau sanak keluarga. 6) dalam keadaan terdesak, memanfaatkan pangan alternatif misal ubi dan kacang hutan.

Namun strategi adaptasi tersebut tidak digunakan sepenuhnya karena minim kapasitas (fisik, sosial ekonomi dan perilaku). Karena itu jangan heran sebagian masyarakat menggunakan strategi adaptasi negatif, misalnya mencuri, pengambilan sumber daya alam berlebihan tanpa menghiraukan keselamatan diri dan kelestarian lingkungan, memilih memberhentikan anak dari sekolah, bahkan mengurangi jumlah makan dalam sehari (misalnya dari 3 menjadi 2 kali) atau mengurangi porsi makan. Masyarakat (petani) berjuang untuk memenuhi pangan secara mandiri dan tidak tergantung pada pasokan pangan dari luar, atau bahkan tergantung pada situasi politik, yang biasanya berbuntut pada berkurangnya pasokan dari luar di satu sisi, serta meningkatnya harga-harga pangan dan menurunnya harga komoditi petani di sisi lain.


Pemenuhan hak perempuan
Pangan merupakan hak, baik laki-laki maupun perempuan, namun apakah dapat diakses oleh kelompok perempuan? Berdasarkan hasil diskusi kampung, strategi adaptasi laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan signifikan, namun akses terhadap pangan lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Hal ini disebabkan oleh minimnya modal usaha, luas lahan yang terbatas, kekurangan tenaga produktif, serta tingkat pendidikan yang rata-rata hanya sebatas sekolah dasar, dan iklim.

Bentuk strategi adaptasi perempuan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga adalah meningkatkan pendapatan melalui usaha menganyam, menenun, mengumpulkan dan menjual kayu bakar, sayur-sayuran, bahkan mencari pekerjaan di luar daerah atau luar negeri. Keterampilan ini sungguh berguna saat dalam kondisi kritis untuk membeli pangan. Sumber daya dalam desa atau wilayah juga sangat mempengaruhi perempuan dalam mengakses pangan, misalnya tidak ada pasar desa, kondisi jalan yang tidak memadai, serta anggaran dan program yang tidak berorientasi pada perempuan, membuat perempuan semakin rentan. Menghadapi kerentanan ini, perlu peningkatan kapasitas dan memperluas akses perempuan terhadap sumber daya yang ada di desa, didukung kebijakan pemerintah yang setara.


Tawarkan aksi
Bagaimana pun perlu disadari bahwa perempuan atau terutama kepala rumah tangga perempuan diperhadapkan pada situasi harus menjaga keluarganya tetap aman pangan setiap waktu dengan gizi yang cukup. Mungkin saja, dan pada umumnya laki-laki/suami setelah selesai panen/terima gaji dan menyerahkan hasil/gaji kepada isteri, tidak mau tahu lagi apakah itu cukup atau tidak untuk kebutuhan satu waktu tertentu. Laki-laki/suami akan kembali dalam rutinitas kerja/menggarap lahan. Umumnya alternatif usaha atau cara memperoleh pangan lebih banyak dilakukan oleh perempuan/isteri. Mereka menjadi yang pertama berupaya untuk melakukan alternatif usaha untuk mendapat/bisa membeli pangan.

Karena itu, peningkatan kapasitas perempuan sangat perlu, sebagai upaya meningkatkan dan melindungi pangan dalam rumah tangga. Pertama, lumbung pangan desa atau keluarga masih masuk akal diupayakan, terutama untuk mengakses pangan ketika stok pangan mulai berkurang. Kedua, sarana transportasi dan pasar desa, merupakan strategi untuk meningkatkan peran perempuan dalam mengakses pasar, sebab dengan kondisi transportasi dan pasar desa yang tidak cukup baik, akan berdampak pada kemampuan perempuan untuk mengali sumber pendapatan lain seperti berdagang. Pengalaman perempuan Desa Noenoni, Oenino, Oebelo di Kabupaten TTS, Desa Seo, Oeperigi, Popnam, dan tentunya masih  banyak desa lainnya yang tidak memiliki pasar, perempuan  harus menjual hasil pertanian di pasar desa tetangga dengan jarak 12-20 km, dan harus menyewa ojek seharga Rp 25.000-Rp. 30.000 sekali jalan.

Ketiga, tidak ada salahnya menggunakan bibit lokal yang ada di masyarakat, sebab lebih tahan terhadap hama dan kekeringan.  Karena itu pengembangan bibit lokal penting, tanpa harus mendatangkan bibit luar yang tidak menjamin akan bertahan dengan kondisi tanah dan iklim wilayah NTT. Sebaiknya biaya mendatangkan bibit dimanfaatkan untuk memperkuat sarana dan prasarana produksi pangan.

Keempat, mengembangkan sistim peringatan dini. Dengan adanya informasi tentang curah hujan yang tepat akan membantu masyarakat mengatur kegiatan pengolahan lahan dan tanaman pertanian. Untuk hal ini, diperlukan penyuluh/pendamping pertanian yang kontinyu memberikan informasi dan mendampingi masyarakat, terutama terkait perubahan iklim dan mekanisme adaptasinya.

Kelima, adanya kebijakan berorientasi petani kecil dan perempuan. Program dan penganggaran yang baik adalah yang selalu bisa tanggap terhadap berbagai bentuk perubahan dan ancaman yang akan mengganggu ketersediaan pangan masyarakat. Dalam hal ini, mampu beradaptasi dengan perubahan iklim yang sangat jelas berdampak pada ketahanan pangan masyarakat terutama bagi perempuan.  *


Direktur PMPB NTT, anggota NTT Policy Forum



Tidak ada komentar:

Aktifitas PMPB NTT