DESA TOINEKE – KECAMATAN AMANUBAN
SELATAN
KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN - NTT
Toineke
berasal dari kata “toi” yang berarti pintu dan “neke” yang berarti kapuk.
Secara harafiah berarti Pohon Kapuk yang tumbuh pada jalanmasuk menuju
kali/sungai yang merupakan jalan bagi hewan liar.
Sebelum tahun 1918, sudah ada marga yang
mendiami Kampung Toineke yaitu marga KMIO. Kampung Toineke pada waktu itu
merupakan salah satu temukung kecil dari wilayah ketemukungan besar Nunusunu
dan Kefetoran Kualin yang pusat pemerntahan kefetoran di Tuaputu. Fetor Kualin
dipimpin oleh TONI. Ketemukungan Kecil Toineke pada waktu itu dipimpin oleh
KOLONE SAAK (1918 – 1950).
Pemaparan alur sejarah berikut ini adalah
tentang keberadaan marga-marga besar
yang mendiami Desa Toineke saat ini yaitu Marga Kmio, Aoetpah, Koy, dan Taneo.
(Penuturan adat dilakukan
oleh Aleksander
Kmio yang disepakati oleh wakil
dari ke empat marga tersebut pada hari Rabu, 28 Pebruari 2001 di Balai Desa Toineke-Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten
Timor Tengah Selatan).
1918 : Bapak SEO NAMAT (nama baptisnya
: MATEOS AOETPAH) datang dari kampung Nunumamat yang merupakan salah satu
wilayah Kefetoran Noesiu. Beliau menghadap Fetor Kualir (Toni) untuk meminta
tanah agar dapat tinggal di salah satu wilayah kefetoran Kualin. Barang
bawaannya adalah pisang satu sisir, sirih daun satu bungkus, pinang satu
rangkai, sopi satu botol dan uang perak satu tali. Setelah menghadap dan menyampaikan maksud kedatangannya kepada
Fetor Toni, beliau kembali ke Nunumamat karena beliau masih muda dan belum
kawin.
(Catatan : Tanah yang diminta, tidak
ditentukan luasnya)
Karena belum menikah (Kawin) dan masih
belum berkeluarga, beliau menyuruh kakaknya : TUAN NAMAT (TUAN AOETPAH) datang
ke Fetor Kualin. Fetor Toni memanggil
Kepala Suku Toineke : LEU SEON NAME bersama anak mantunya : TIKA KMIO.
Tuan namat dan Leu Seon name serta Tika Kmio dipertemukan oleh Fetor Toni di
Tuaputu (Sonaf) yang merupakan pusat pemerintahan Kefetoran Kualin. Lalu Fetor
Toni menanyakan, apakah mereka mau menerima Aoetpah ? Dari yang hadir terdapat
pulah Hautes. Hauteas menolak untuk menerima Aoetpah sedangkan Leu Seon Name
menerima Aoetpah untuk tinggal di Toineke.
1923 : Fetor Toni mengundang Leu Seon
Name dan Kmio untuk menerima secara adat dengan membeli Gong Satu pasang
sebagai tanda bunyi-bunyian di Toineke. (Dalam istilah adatnya : dengan
mendengar bunyi-bunyian anjing bisa menggonggong dan ayam bisa berkokok).
1962 : Marga KOY datang dari Desa
Oetuke (perbatasan dengan Desa Nunumamat) menghadap A. KMIO dan NEON LENI di
Nunusunu secara adat. Barang yang dibawa sebagai pemberian oleh Marga Koy
adalah :
·
Untuk A. KMIO :
diserahkan berupa Uang Perak satu ringgit
·
Untuk NEON LENI :
diserahkan berupa Sapi Betina satu ekor.
Marga Koy datang bersama Simon Petrus
Taneo yang pada waktu itu menjabat sebagai Temukung Kecil di Toineke. Mereka
makan bersama, kemudian Marga Koy dibawah ke Desa KIUFATU dan SP Taneo
memberikan dua buah rumah untuk tinggal. Satu rumah diserahkan kepada SAMUEL
KOY dan yang lainnya diserahkan kepada BANI KOY. Rumah milik Bani Koy, saat ini
sudah dijual kepada orang lain.
Sedangkan Marga TANEO merupakan
keluarga (anak dari saudarinya) Bapak Aoetpah. Datang ke Toineke sebelum
pendudukan Jepang sekitar tahun 1930-an. Jadi Marga Taneo datang mengikuti
keluarga Marga Aoetpah.
1939 : Perampasan wilayah suku SOEPAI
dari Noemuke dan Suku KMIO dari Toineke. Perampasan terhadap wilayah Desa
Toineke. Pertikaian ini diselesaikan secara damai oleh Raja Nope di tempat
(pasar saat ini) sehingga ditentukan batas antara Soepai dan Kmio adalah
sepanjang kali/sungai Noemuke.
1941 : Membentuk Hutan Kawasan Aisio
(yang sebelumnya adalah milik NEON LENI, SEOK dan KMIO). Hutan Aisio ini
merupakan pusat makanan rakyat Toineke.
1958 : Hutan Aisio diakui dan
disahkan oleh Dinas Kehutanan TTS yang
pada saat itu, batas-batasnya ditentukan oleh Mantri Kehutanan yang bernama :
ALEXANDER BABLAI.
1967 : Dibawah kepemimpinan Simon
Petrus Taneo, marga-marga yang ada di Desa Toineke sepakat untuk membentuk
Temukung Besar dan keluar dari Temukung Besar Nunusunu. Kesepakatan itu diambil
karena sudah ada banyak kampung yang merupakan wilayah ketemukungan kecil
seperti : Oe-oof, Litsusu, Kluli, Aisio dan Hai.
Lain-lain :
Pada masa kefetoran sudah dikenal upeti
bagi usif yaitu 10% dari hasil tanaman pertanian. Di samping itu, masyarakat yang
tergabung dalam wilayah Ketemukungan kecil harus mempunyai kebun yang hasilnya
diberikan kepada Usif. Kebun tersebut bernama ETU. Jadi Etu adalah Usif Lene
(Milik Raja). Yang mengerjakan kebun tersebut hanya kaum laki-laki saja. Ada
juga kerja bergiliran atau jaga raja yang disebut dengan BE'’T.
Berikut ini adalah peristiwa-peristiwa penting yang
dirasakan dan masih diingat oleh masyarakat Desa Toineke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar