BENCANA DISEKITAR KITA

MARI KURANGI RISIKO BENCANA SEKARANG JUGA

Selasa, 02 Juli 2013

Sejarah Toineke



DESA TOINEKE – KECAMATAN AMANUBAN SELATAN
KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN - NTT

Toineke berasal dari kata “toi” yang berarti pintu dan “neke” yang berarti kapuk. Secara harafiah berarti Pohon Kapuk yang tumbuh pada jalanmasuk menuju kali/sungai yang merupakan jalan bagi hewan liar.

Sebelum tahun 1918, sudah ada marga yang mendiami Kampung Toineke yaitu marga KMIO. Kampung Toineke pada waktu itu merupakan salah satu temukung kecil dari wilayah ketemukungan besar Nunusunu dan Kefetoran Kualin yang pusat pemerntahan kefetoran di Tuaputu. Fetor Kualin dipimpin oleh TONI. Ketemukungan Kecil Toineke pada waktu itu dipimpin oleh KOLONE SAAK (1918 – 1950).


Pemaparan alur sejarah berikut ini adalah tentang keberadaan marga-marga  besar yang mendiami Desa Toineke saat ini yaitu Marga Kmio, Aoetpah, Koy, dan Taneo. (Penuturan adat dilakukan oleh Aleksander Kmio yang disepakati oleh wakil dari ke empat marga tersebut pada hari Rabu, 28 Pebruari 2001 di Balai Desa Toineke-Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan).

1918 : Bapak SEO NAMAT (nama baptisnya : MATEOS AOETPAH) datang dari kampung Nunumamat yang merupakan salah satu wilayah Kefetoran Noesiu. Beliau menghadap Fetor Kualir (Toni) untuk meminta tanah agar dapat tinggal di salah satu wilayah kefetoran Kualin. Barang bawaannya adalah pisang satu sisir, sirih daun satu bungkus, pinang satu rangkai, sopi satu botol dan uang perak satu tali. Setelah menghadap  dan menyampaikan maksud kedatangannya kepada Fetor Toni, beliau kembali ke Nunumamat karena beliau masih muda dan belum kawin.
(Catatan : Tanah yang diminta, tidak ditentukan luasnya)
Karena belum menikah (Kawin) dan masih belum berkeluarga, beliau menyuruh kakaknya : TUAN NAMAT (TUAN AOETPAH) datang ke Fetor Kualin. Fetor Toni memanggil  Kepala Suku Toineke : LEU SEON NAME bersama anak mantunya : TIKA KMIO. Tuan namat dan Leu Seon name serta Tika Kmio dipertemukan oleh Fetor Toni di Tuaputu (Sonaf) yang merupakan pusat pemerintahan Kefetoran Kualin. Lalu Fetor Toni menanyakan, apakah mereka mau menerima Aoetpah ? Dari yang hadir terdapat pulah Hautes. Hauteas menolak untuk menerima Aoetpah sedangkan Leu Seon Name menerima Aoetpah untuk tinggal di Toineke.

1923 : Fetor Toni mengundang Leu Seon Name dan Kmio untuk menerima secara adat dengan membeli Gong Satu pasang sebagai tanda bunyi-bunyian di Toineke. (Dalam istilah adatnya : dengan mendengar bunyi-bunyian anjing bisa menggonggong dan ayam bisa berkokok).

1962 : Marga KOY datang dari Desa Oetuke (perbatasan dengan Desa Nunumamat) menghadap A. KMIO dan NEON LENI di Nunusunu secara adat. Barang yang dibawa sebagai pemberian oleh Marga Koy adalah :
·         Untuk A. KMIO   : diserahkan berupa Uang Perak satu ringgit
·         Untuk NEON LENI        : diserahkan berupa Sapi Betina satu ekor.

Marga Koy datang bersama Simon Petrus Taneo yang pada waktu itu menjabat sebagai Temukung Kecil di Toineke. Mereka makan bersama, kemudian Marga Koy dibawah ke Desa KIUFATU dan SP Taneo memberikan dua buah rumah untuk tinggal. Satu rumah diserahkan kepada SAMUEL KOY dan yang lainnya diserahkan kepada BANI KOY. Rumah milik Bani Koy, saat ini sudah dijual kepada orang lain.

Sedangkan Marga TANEO merupakan keluarga (anak dari saudarinya) Bapak Aoetpah. Datang ke Toineke sebelum pendudukan Jepang sekitar tahun 1930-an. Jadi Marga Taneo datang mengikuti keluarga Marga Aoetpah.

1939 : Perampasan wilayah suku SOEPAI dari Noemuke dan Suku KMIO dari Toineke. Perampasan terhadap wilayah Desa Toineke. Pertikaian ini diselesaikan secara damai oleh Raja Nope di tempat (pasar saat ini) sehingga ditentukan batas antara Soepai dan Kmio adalah sepanjang kali/sungai Noemuke.

1941 : Membentuk Hutan Kawasan Aisio (yang sebelumnya adalah milik NEON LENI, SEOK dan KMIO). Hutan Aisio ini merupakan pusat makanan rakyat Toineke.

1958 : Hutan Aisio diakui dan disahkan  oleh Dinas Kehutanan TTS yang pada saat itu, batas-batasnya ditentukan oleh Mantri Kehutanan yang bernama : ALEXANDER BABLAI.

1967 : Dibawah kepemimpinan Simon Petrus Taneo, marga-marga yang ada di Desa Toineke sepakat untuk membentuk Temukung Besar dan keluar dari Temukung Besar Nunusunu. Kesepakatan itu diambil karena sudah ada banyak kampung yang merupakan wilayah ketemukungan kecil seperti : Oe-oof, Litsusu, Kluli, Aisio dan Hai.

Lain-lain :

Pada masa kefetoran sudah dikenal upeti bagi usif yaitu 10% dari hasil tanaman pertanian. Di samping itu, masyarakat yang tergabung dalam wilayah Ketemukungan kecil harus mempunyai kebun yang hasilnya diberikan kepada Usif. Kebun tersebut bernama ETU. Jadi Etu adalah Usif Lene (Milik Raja). Yang mengerjakan kebun tersebut hanya kaum laki-laki saja. Ada juga kerja bergiliran atau jaga raja yang disebut dengan BE'’T.

Berikut ini  adalah peristiwa-peristiwa penting yang dirasakan dan masih diingat oleh masyarakat Desa Toineke.










Tidak ada komentar:

Aktifitas PMPB NTT