BENCANA DISEKITAR KITA

MARI KURANGI RISIKO BENCANA SEKARANG JUGA

Jumat, 12 Juli 2013

SEJARAH BATAS TANAH ANTARA AMFOANG DAN FATULEU


 ringkasan  hasil pengkajian  di Desa Oh aem ( setelah buka-buka  file) yang dilakukan oleh PMPB - NTT  tahun 2004


1. Pada tahun 1600-an, belum ada tapal batas antara kedua kerajaan tersebut di atas. Dan perkembangan diantara kedua kerajaan itu belum berkembang banyak penduduk. Sehingga dalam upaya masyarakat mencari hidup seperti berladang, mengambil hasil hutan, berburu, mengambil madu dilakukan secara bebas. Orang Amfoang biasa mengambil madu hingga ke Oelnunuh, Lili, dan tempat-tampat lainnya yang bisa dijangkau. Demikian juga dengan orang-orang Fatuleu bisa berburu dan mengambil hasil hutan seperti madu hingga ke Lelogama, Fatumonas, dan tempat-tempat lainnya di wilayah Amfoang sejauh dapat dijangkau. Selain berburu dan mengambil madu, mereka juga mengambil rempah-rempah dan berbagai jenis kayu yang bernilai tinggi seperti cendana, gaharu, kayu kuning, kayu manis, untuk kebutuhan orang-orang asing seperti orang Portugis, Belanda, dan Orang Tiongkok. 
2. Pada tahun 1700-an, penduduk dari kedua kerajaan tersebut di atas sudah semakin bertambah banyak. Pada suatu ketika disaat musim potong lebah madu, yang bertepatan juga dengan musim persiapan lahan kering, tersebutlah tiga orang bersahabat dari Amfoang pergi memotong lebah madu di Lili – Fatuleu. Saat mereka kembali ke Amfoang, ketika tiba di suatu tempat yang bernama Fatupanu, mereka melihat seorang petani sedang memangkas pohon putih besar. Ketiga orang Amfoang itu berhenti dan mengejek petani tadi dengan menggunakan bahasa Dawan. Orang yang mengejek tadi bernama Niti Sau Nakmofa. Katanya:” Waaah…..waaah….waaah….. Eeeh, Ko nai en. Ije teku-teku oni abu po ka mak bula. Bati mak bula oni nasaun natau mou ne. Ejekan itu diulang hingga tiga kali dengan menggunakan kalimat yang sama. Petani yang diejek itu adalah orang dari Fatuleu yang bernama Siku Smaut. Sedangkan ketiga orang Amfoang yang mengejek tadi masing-masing bernama: Niti Sau Nakmofa, Bano Masu, dan Bano Koma/Tahanael. Arti dari bahasa ejekan yang diungkapkan ketiga orang Amfoang tadi adalah: “Dasar sarang lebah yang tidak bersengat, maka perut kita menjadi kembung. Tetapi seandainya lebah itu bersengat pasti kita makan tidak terjadi seperti ini.” Ungkapan di atas bermaksud untuk memanas-manasi serta memuaskan nafsu berperang antar suku sekaligus bermaksud untuk merebut wilayah kekuasaan kerajaan. Setelah ketiga pengejek dari Amfoang lewat, turunlah Siku Smaut dari pohon putih dan bergegas menuju rumahnya untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada keluarganya.

Kemudian Siku Smaut mengundang seorang sahabatnya yang bernama Pato Lopo. Keduanya mulai mengatur posisi untuk berperang melawan Suku Amfoang. Perang antara kedua suku yakni Amfoang dan Fatuleu pun tak terhindarkan. Dengan pecahnya perang antar kedua suku ini, sempitlah sudah wilayah perburuhan dan pengambilan hasil hutan. Penduduk kedua suku ini amat berhati-hati dan saling menaruh curiga antara satu dengan yang lainnya. Jika warga kedua suku ini saling bertemu maka langsung terjadi pertempuran. Si korban atau orang yang tewas dalam pertempuran biasanya kepalanya dipenggal dan dibawa ke benteng pertahanan. Perang suku ini terus terjadi antara tahun 1700-an sampai tahun 1800-an. Setelah datangnya Pemerintahan Belanda baru ada upaya membuat kesepakatan perdamaian antara kedua suku tersebut. Kesempatan Pemerintah Belanda untuk masuk dalam permasalahan kedua belah pihak adalah melalui penjualan obat senapan (bubuk mesiu). Dari situ Pemerintah Belanda dapat mengetahui permasalahan sebenarnya yang terjadi di antara kedua suku itu sekaligus mendapatkan jalan guna mengupayakan perdamaian antara keduanya. Upaya perdamaian yang diprakarsai oleh Pemerintaha Belanda ini disambut baik oleh kedua belah pihak. Setelah itu ditetapkanlah Netenbejakase Anakan (sekarang dikenal dengan nama Nainak Fatu dan masuk dalam wilayah Desa Tanini–Kecamatan Takari) sebagai tempat perundingan perdamaian. Mereka menyepakati tempat itu karena tempat itu berada di ketinggian dan dapat memandang secara luas baik kearah Fatuleu maupun Amfoang.
Pada waktu yang ditetapkan, hadirlah Raja Fatuleu, Tusala Pitai, dan Raja Amfoang yang diwakili oleh Fetor Lelogama, Anpupu Baiuf – masing-masing bersama dengan panglima perang dan rakyatnya. Sementara dari Pemerintah Belanda diwakili oleh empat orang juru damai yakni Tuan Siso, Tuan Hoppi, Tuan Pello, dan Tuan Zet yang dalam tutur sejarah dikenal dengan sebutan Siso-Hoppi-Pello-Zet.
Dalam kesempatan pertemuan perdamaian itu yang memimpin acara adalah Tuan Pello karena kemampuannya dalam menggunakan Bahasa Dawan. Tuan Pello memulai acara dengan menawarkan lebih dahulu kepada Raja Amfoang untuk menentukan tapal batas kerajaannya dengan Kerajaan Fatuleu. ”Menurut Tuan Raja Amfoang, dimanakah kita menyetujui tapal batas antara Kerajaan Amfoang dengan Kerajaan Fatuleu? Maka Tuan Raja Amfoang menunjuk Oelnunuh dan berkata:”Oelnunuh turun ke kali Oesusu-Oelnunuh turun ke kali Alili.” Kemudian Tuan Pello bertanya lagi kepada Raja Amfoang:”Kalau demikian, dimanakah istana Tuan Raja Fatuleu? Sang Raja Amfoang menunjuk Gunung Fatuleu. Kemudian kata Tuan Pello,”Tidakah Tuan Raja keliru?

Setelah itu Tuan Pello menanyakan pertanyaan yang sama kepada Tuan Raja Fatuleu,”Kalau menurut Tuan Raja Fatuleu dimanakah kita menyepakati tapal batas kerajaan antara Fatuleu dan Amfoang? Maka sang Raja Fatuleu menunjuk Bukit Lulun dan berkata,” Dari Bukit Lulun turun ke kali Naitokoh, dari Bukit Lulun turun ke kali Noetoko. Kemudian Tuan Pello bertanya kepada Raja Fatuleu,”Jika demikian dimanakah istana Raja Amfoang? Lalu Raja Fatuleu menunjuk bukit Lelogama. Kemudian kata Tuan Pello,”Bukankah tuan-tuan raja ini keliru? Bagaimana masing-masing mengklaim istana tiap raja? Lalu masing-masing panglima perang mempertahankan hak wilayahnya dengan mengatakan,”Biarkan kami berperang dulu tuan!. Tuan Pello lalu bertanya kepada panglima perang Fatuleu, Siku Smaut,”Kalau menurut tuan panglima perang dari Fatuleu, dimanakah tapal batas antara Fatuleu dan Amfoang? Jawab Siku Smaut,”Menurut saya tapal batas jangan melewati lembah yang panjang, karena kalau tidak maka suatu ketika akan terungkit lagi. Tapal batas harus melalui kali. Lalu Tuan Pello bertanya lagi menanggapi usul panglima perang Fatuleu,” Menurut tuan panglima, kali manakah yang tuan maksudkan? Maka jawab sang Panglima,”Noeniti namat Nefonono, Noeniti nahae Bimanu, Noelka namat Nefonono, Noelka nahae Noebesi.”Ini berarti: Noeniti berhulu di Nefonono, Noeniti bermuara ke Termanu, Noelka bermuara ke Noelbesi, Noelka berhulu di Nefonono. Lalu Tuan Pello juga bertanya pula kepada Panglima Amfoang, Niti Sau Nakmofa,”Menurut Tuan Panglima dari Amfoang dimanakah tapal batas antara Amfoang dan Fatuleu? Sang panglima dari Amfoang pun menjawab,”Saya setuju dengan apa yang diusulkan Panglima Fatuleu, Siku Smaut. Noeniti namat Nefonono, Noeniti nahae Bimanu, Noelka namat Nefonono, Noelka nahae Noebesi.” Kemudian Tuan Pello bertanya kepada semua lapisan masyarakat yang hadir baik dari Amfoang maupun dari Fatuleu,”Apakah kalian semua setuju dengan penetapan tapal batas yang diusulkan oleh kedua panglima kerajaan ini? Semua lapisan masyarakat mengatakan,”Kami sangat menyetujui penunjukan tapal batas kami oleh kedua panglima kami itu.” Semua permufakatan ini dirundingkan di atas bukit Bijakase Anakan yang dikenal dengan nama Nainak fatu hingga saat ini.
Kemudian Tuan Pello bersama ke tiga temannya bersama kedua sang Raja dan kedua panglima perang termasuk semua lapisan masyarakat yang hadir baik Amfoang maupun Fatuleu sama-sama turun ke kali Noeniti yang dimaksudkan tadi, semua ramai-ramai membuat suatu tugu perjanjian antara Fatuleu dan Amfoang sampai turun temurun. Setelah mereka turun dan tiba di kali maka mereka sepakati tempat tugu itu dibangun, dan akhirnya mereka menempatkannya disebelah kali dari wilayah Amfoang, dan tugu tersebut dibangun bersama oleh masyarakat kedua kerajaan tersebut diatas dengan ukuran ± 20 x 3m dan tingginya 60 cm. Setelah tugu itu selesai dibuat, maka pemerintah Belanda ikut mau membuktikan apa perdamaian mereka itu sungguh-sungguh atau hanya bahasa jaminan saja kapada pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah Belanda menghimbau mereka untuk membuat suatu jamuan wujut nyata tanda perdamaian yang sah dari kedua pihak terkait. Sehingga dari amfoang membawa seekor babi besar dan Fatuleu membawa seekor kerbau umur dua adik dan dari pemerintah Belanda menyiapkan minuman beralkohol dua keler. Setalah himbauan pemerintah disambut baik oleh kedua masyarakat itu, lalu kedua ternak itu dibunuh dan dagingnya dibagi bersama dan makan bersama. Dan sebelum mereka makan bersama diawali dengan upacara sumpah adat yang dipimpin oleh Tuan Pello. Oleh sebab itu Tuan Pello minta supaya kedua kepala ternak itu dibawah ke tugu, sebelum upacara sumpah adat dimulai. Pemerintah menyuruh mempersiapkan dua buah lubang disisi kiri dan kanan dari tugu itu. Sesudah kedua lubang itu disiapkan masyarakat, maka Tuan Pello dan ketiga temannya yang lain memanggil kedua Panglima perang suku tersebut diatas yaitu Siku Smaut dari Fatuleu dan Niti Sau / Nakmofa dari Amfoang. Kedua panglima perang tersebut merekalah yang atas nama untuk mengangkat sumpah adat yang dipimpin Tuan Pello. Maka sesuai sejarah leluhur kami menyangkut upacara sumpah adat pada saat itu, demikian dituturkan dibawah ini :
Tuan Pello ; “Hari ini sesuai kesepakatan kamu, yang tidak dipaksakan siapapun ; Allah Pencipta Alam Semesta, melihat dan mendengar bahkan alam semesta yang memangku kita telah melihat, mendengar dan bersaksi tentang kespakatan tapal batas yang kamu tunjuk ini tidak akan dirubah oleh siapapun sampai turun temurun”. Apabila dikemudian hari ternyata ada kekeliruan dari salah satu pihak antara lain : seandainya Amfoang yang mengangkat kembali tapal batas ini maka Fatuleu mengangkat senapanmu dan mengisinya kedalam alat senapan ini, lalu kamu ambil biji pelor ini dan diisikan kesenapanmu lalu tembak orang Amfoang hanya satu-satu skat lalu matilan dia. Begitu juga sebaliknya, jika dikemudian hari dari Fatuleu yang mengangkat kembali tapal batas ini, maka kamu orang Amfoang mengambil senapanmu, dan mengisinya dengan obat senapan dan pelor senapan yang ada pada kamu, lalu kamu akan tembak orang Fatuleu, hanya sat-satu skot saja lalu matilah dia. Sesudah ucapan sumpah adat itu berlalu, maka Tuan Pello mengambil lagi dua gelas yang dibuat dari bambu sama-sama diisi air, dicampur dengan obat senapan dan merendamkan pelor senapan masing-masing gelas 1 biji, kemudian memberikan kepada kedua panglima itu masing-masing meminumnya. Kemudian Tuan Pello itu menyuruh membawa lagi kedua kepala ternak yang dipotong tadi, yakni kepala babi dan kepala kerbau itu lalu dikuburkan ke dalam kedua lubang yang digali tadi. Maknanya: kepala babi yang senantiasa suka mencungkil-cungkil masalah dan kepala kerbau yang tanduknya senantiasa suka menanduk-nanduk teman kerbau yang lain, hari ini juga dikubur dan dihilangkan jejak-jejak masa lalunya, agar jangan terulang lagi untuk merusak keadaan. Sesudah itu Pemerintah Belanda atas nama Tuan Pello mengambil lagi barang-barang bukti yang lain yang akan disimpan oleh masing-masing panglima untuk menjadi barang bukti dan saksi apabila dikemudian hari tapal batas ini terungkit kembali. Masing-masing panglima diserahkan 1 lembar bendera Belanda, 1 pout obat senapan, 1 biji pelor senapan tumbuk, 1 buah benda yang dibuat dari perak asli berbentuk tanduk kerbau. Barang-barang diatas diberikan kepada kedua panglima tersebut, yaitu Siku Smaut dari Fatuleu dan Niti Sau / Nakmofa dari Amfoang. Sampai saat ini barang-barang bukti tersebut masih ada dan disimpan di rumah adat mereka. Kemudian tempat tugu itu dibangun diberi nama : Alakat Naimoni, artinya : Dari tempat ini dapat menghidupkan dan menghubungkan kembali hidup persaudaraan. Kemudian mereka sepakat dan memberi kepercayaan kepada seorang panglima dari Amfoang dengan dilengkapi pula dengan sepucuk senapan tumbuk untuk mengawasi tugu perdamaian itu sampai turun - temurun. Nama panglima itu Bano Kama Pahanael, tahun 1990–an senapan tersebut dapat dioperasikan. Setelah selesai acara di Alakat Naimoni; mereka ramai-ramai datang lagi ke Nefonono dan menanam lagi sebatang tiang kayu menjadi tiang tapal batas diujung danau Nefonono kebagian Noeniti, dan sebatang tiang lagi diujung danau Nefonono kebagian Noelka. Selanjutnya batas tiang itu menyusuri sebuah kali kecil dengan nama Nono Nai Sole sampai turun di Oesinas dan mulai serong keluar mereka ramai-ramai menumpuk lagi tumpuan batu dengan diberi nama Bakitba, lalu menyusur lagi sebuah kali kecil turun ke Noelka. Kemudian pada tahun 1900 – an kedua tiang diujung Nefonono lapuk dan tumbang. Lalu seorang tokoh masyarakat adat yang bernama Fenu Asone / Kobo pergi menghadap Fetor Lelogama Pou Baiuf untuk menanam ganti tiang tapal batas yang lapuk dan tumbang di Nefonono itu.
Pada tahun 1900-an, tiang-tiang tapal batas di Nefonono bagian Noeniti dan Noelka sudah lapuk dan jatuh ke tanah dari tempat semula tiang-tiang dipancangkan. Tidak ada upaya dari kedua suku baik Amfoang maupun Fatuleu untuk menanam kembali tiang-tiang tapal batas yang telah diletakkan oleh Panglima Perang Amfoang dan Fatuleu pada tahun 1800-an sebagai bukti tapal batas.
Kemudian pada tahun 1929, Fenu Asone – Kobo dari masyarakat adat Oh’aem menghadap Fetor Lelogama, Baiuf, secara adat dan memberikan laporan secara lisan menyangkut dengan kedua tiang tapal batas tersebut yang telah lapuk dan rencana untuk memperbaharui dengan tiang tapal batas yang baru. Laporan itu disambut baik oleh Fetor Lelogama, Baiuf. Setelah itu tokoh adat Fenu Asone Kobo kembali ke Oh’aem dan mengatur penjemputan sang Fetor Lelogama ke lokasi tapal batas di Nefonono. Sang Fetor datang dan dijemput oleh segenap masyarakat Oh’aem kemudian dilanjutkan dengan penanaman kembali dua tiang baru tapal batas ditempat bekas tiang lama dengan tidak mengurangi atau menambahkan sejengkal tanah baru baik untuk kepentingan Amfoang ataupun Fatuleu. Pada saat penanaman kembali tiang-tiang itu, seekor kerbau jantan yang berumur dua adik dikorbankan dalam rangka mengingat kembali arwah-arwah para pejuang suku. Tanduk kerbau tersebut diikat pada tiang penanda tapal batas yang ada di Noeniti. 
Sesudah selesai pemancangan tiang tapal batas, sang Fetor Lelogama diantar kembali ke Lelogama dan masyarakat Oh’aem pun pulang ke Oh’aem.
Selang beberapa hari kemudian, Fetor Kauniki yakni Neno Pahsunaf bersama seorang tokoh adatnya yang bernama Neno Seko serta seluruh lapisan masyarakat Kauniki mengungkit kembali penanaman tiang-tiang tapal batas antara Fatuleu dan Amfoang di Nefonono dalam pertemuan antara Fetor Kauniki dan Fetor Lelogama yang dihadiri oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat Oh’aem maupun Kauniki. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh pihak Fetor Kauniki dan para tokoh adatnya. Pertama, pada saat tiang-tiang tapal batas diperharui mereka tidak diundang dan mengklaim telah kehilangan lebah sebanyak 2 kepala yang diduga diambil pihak Oh’aem. Kedua, mereka mempertanyakan perihal penggalian kembali kepala kerbau yang telah disepakati bersama ditanam di Alakat Naimoni/Noeniti dan kemudian digantungkan di atas tiang tapal batas karena hal ini seolah-olah mengungkit kembali perang suku antara Amfoang - Fatuleu.
Dua alasan kuat yang dikemukakan pihak Kauniki memaksa Fetor Lelogama dan tokoh-tokoh adat Oh’aem menyerah dan minta damai secara adat budaya orang Timor. Cara perdamaiannya adalah dengan sepakat untuk merubah tapal batas yang lama dengan tapal batas baru. Kalau tapal batas yang lama mencakup Nefonono, Nononaisole, Oesinas, Bokitba, Noelka maka penetapan yang baru adalah Nonofael, Fatupeas, Bestuf, Fatubuni, Nono hausisi, Noelka. Tiang-tiang tapal batas yang ditanam ditempat semula dipindahkan ke tapal batas yang baru oleh kedua Fetor bersama tokoh-tokoh adat dan masyarakat Kauniki dan Oh’aem. Tiang-tiang itu diatur sebagai berikut: Tiang jurusan Noelka dipindahkan dan ditanam diujung Fatubuni. Sedangkan tiang tapal batas Noeniti dipindahkan dan ditanam di Fatupe’as, tiang tapal batas Bestufe dipindahkan ke Fatubuni. Setelah selesai penetapan tapal batas yang baru disusul dengan perjanjian secara adat oleh kedua Fetor dan tokoh-tokoh adat dari Kauniki dan Oh’aem serta disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam perjanjian ini sebagai tanda bukti masing-masing suku memberikan satu keping uang ringgit Belanda kepada kedua Fetor dan kedua Fetor mengembalikannya kepada masing-masing tokoh adat sebagai bukti tapal batas baru antara kedua suku tadi. Sesuai dengan kesepakatan antara kedua Fetor, Neno Pah Sunaf diminta untuk menyampaikan sumpah diantara kedua suku yakni Oh’aem dan Kauniki. Sumpah itu isinya: Tapal batas ini tidak boleh dipindahkan siapapun. Kalau dari pihak Oh’aem mengulang lagi maka tapal batas ini akan digeser lagi ke Nuabena, menyusur kali Nuabena - Noeniti, lalu Nuabena – Bisbot – Noelka.
Kalau dari pihak Kauniki yang menggeser tapal batas ini maka tapal batas ini kembali ke tapal batas yang lama yakni Nefonono – Noeniti – Nefonono – Nononaisole – Oesinas – Bakitba – Noelka.
Setelah sang fetor selesai membacakan sumpah kepada kedua suku di atas, dilanjutkan lagi dengan penyerahan uang ringgit Belanda sebagai bukti janji tapal batas di atas. Uang dari pihak Oh’aem diserahkan kepada Nenoseko mewakili tokoh adat Kauniki sedangkan uang dari pihak Kauniki diserahkan kepada Fenu Asone Kobo mewakili tokoh adat Oh’aem. Dengan penyerahan uang ringgit Belanda kepada masing-masing pihak maka selesailah masalah tapal batas yang kedua di Bestufe/Nefonono pada tahun 1929.
Tahun 1930, masyarakat Kauniki mulai menghuni daerah yang direbutnya dari Amfoang disertai dengan pembangunan rumah di Ekam dan penanaman tanaman umur panjang seperti mangga, nangka, pinang, kelapa, yang masih ada hingga hari ini. Nama-nama oknum yang membangun rumah pertama kali di Ekam antara lain Neno Seko, Sani Atetu, Sobe Bani. Mereka juga membuka kebun hingga batas Hausisi, sedangkan di Nefonono – Bestufe mereka hanya mengambil hasil hutan seperti madu. Tahun 1930 ada juga masyarakat Oh’aem yang membuka kebun di perbatasan Fatubuni – Bestufe – Fatupe’as. Mereka itu antara lain: Fenu Asone Kobo, Liu Taebenu, sobe Tabelak, Afu Bilo, Muti Kau Malafu.
Tahun 1952, Sobe Kono baru mulai membangun rumah dan membuka kebun di Bestufe, daerah perbatasan dengan Oh’aem, namun tidak melewati batas sebagaimana yang ditetapkan ulang tahun 1929.
Tahun 1964, tiga orang Oh’aem yakni Arnolus Tanesib, Nikolas Baitanu, dan Thomas Kobo membuka kebun dekat Bestufe namun tidak melanggar batas sebagaimana yang ditetapkan pada tahun 1929 dan mereka masing-masing menanam anakan kasuari dan masih hidup hingga saat ini.
Tahun 1978, seorang warga Oh’aem yang bernama Fredik Kobo membuka kebun disamping kebun lama yang pernah digarap Arnolus Tanesib namun tidak melanggar tapal batas yang ditetapkan tahun 1929. Namun salah seorang masyarakat dari Desa Kauniki yang bernama Bertolens Kono menduga Fredik Kobo membuka kebun di wilayah tanah milik Desa Kauniki. Bertolens Kono kemudian melaporkan Fredik Kobo ke pemerintahan kecamatan. Karena proses penyelesaian di tingkat kecamatan tidak membawa hasil yang memuaskan, permasalahan ini kemudian ditangani langsung oleh pihak Pemda Kabupaten Kupang.
Tahun 1979 ada upaya dari Pemda untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tapal batas ini. Yang hadir antara lain Bupati Adi, Camat Fatuleu- Bpk.Miramangi, Camat Amfoang Selatan- Ruben Funay, Camat Amarasi- Fecky Koroh, Mantan Fetor Lelogama, Mantan Fetor Kauniki, Kepala Desa Kauniki, Kepala Desa Oh’aem, Para Tokoh Adat dari Desa Kauniki dan Oh’aem serta semua lapisan masyarakat dari kedua desa.

Karena masing-masing desa mempertahankan haknya atas tanah yang ada maka Pemerintah Kabupaten Kupang mengambil suatu kebijakan jalan tengah untuk dapat mengamankan kedua masyarakat tersebut dengan cara menanamkan 2 pilar beton, yang masing-masingnya ditanam di wilayah Oh’aem dan di wilayah Kauniki. Sementara itu tanah sengketa dikosongkan serta tidak boleh diolah oleh kedua belah pihak. Apabila dikemudian hari tanah itu dibutuhkan oleh masyarakat kedua belah pihak maka harus diberitahukan kepada Pemerintah Kabupaten Kupang.Pada saat itu Sobe Kono yang menghuni Bestufe, disuruh keluar dan tinggal di Oelfael.
Pada tahun 1990-an, masyarakat Desa Kauniki melakukan penyerobotan lagi dengan membangun 5 buah rumah di atas tanah sengketa, namun pihak pemerintahan Kecamatan Takari (Camat Amalo) dan Kecamatan Amfoang Selatan (Camat Melki Kana) mengusir penyerobot keluar dari tanah sengketa.
Tahun 2001, masyarakat Kauniki dengan dukungan Camat Amfoang Selatan (Ambrosius Sonbay,SH) masuk kembali ke tanah sengketa dan menebang hutan untuk membuat kebun. Kali ini Antonius Tamelab bahkan masuk hingga wilayah Oh’aem serta membabat pohon kesuari dan mahoni milik Arnolus Tanesib dari Ohaem. Tahun 2003 masyarakat Desa Kauniki mencabut pilar yang ditanam Bupati Kupang di Desa Kauniki dan dipindahkan ke wilayah Desa Oh’aem. Pada tahun yang sama, masyarakat Desa Kauniki membakar sebuah rumah milik masyarakat Desa Oh’aem atas nama Obet Snae.
Dari penelusuran sejarah ini jelaslah bahwa masyarakat Desa Oh’aem sudah berupaya memegang teguh kesepakatan penetapan tapal batas pada penetapan kedua (1929) di atas yakni Bestuf-Nefonono yang disepakati oleh kedua Fetor yakni Fetor Kauniki, Neno Pah Sunaf dan Fetor Lelogama, Po’u Bai’uf dengan disaksikan serta didukung oleh dua tokoh adat masing-masing Neno Seko, tokoh adat Kauniki dan Fenu Asone Kobo, tokoh adat Oh’aem. Sebagai bukti adanya perjanjian tapal batas ini, masing-masing diberikan uang Belanda satu ringgit.
Demikian jalannya sejarah batas tanah wilayah Amfoang – Fatuleu umumnya dan batas Oh’aem dan Kauniki khususnya.
Dituturkan Oleh
Andrias Malafu
(Masyarakat Adat Oh’aem) 

Tidak ada komentar:

Aktifitas PMPB NTT