ringkasan hasil pengkajian di Desa Oh aem ( setelah buka-buka file) yang dilakukan oleh PMPB - NTT tahun 2004
1.
Pada tahun 1600-an, belum ada tapal batas antara kedua kerajaan
tersebut di atas. Dan perkembangan diantara kedua kerajaan itu belum
berkembang banyak penduduk. Sehingga dalam upaya masyarakat mencari
hidup seperti berladang, mengambil hasil hutan, berburu, mengambil madu
dilakukan secara bebas. Orang Amfoang biasa mengambil madu hingga ke
Oelnunuh, Lili, dan tempat-tampat lainnya yang bisa dijangkau.
Demikian juga dengan orang-orang Fatuleu bisa berburu dan mengambil
hasil hutan seperti madu hingga ke Lelogama, Fatumonas, dan
tempat-tempat lainnya di wilayah Amfoang sejauh dapat dijangkau.
Selain berburu dan mengambil madu, mereka juga mengambil rempah-rempah
dan berbagai jenis kayu yang bernilai tinggi seperti cendana, gaharu,
kayu kuning, kayu manis, untuk kebutuhan orang-orang asing seperti
orang Portugis, Belanda, dan Orang Tiongkok.
2.
Pada tahun 1700-an, penduduk dari kedua kerajaan tersebut di atas sudah
semakin bertambah banyak. Pada suatu ketika disaat musim potong lebah
madu, yang bertepatan juga dengan musim persiapan lahan kering,
tersebutlah tiga orang bersahabat dari Amfoang pergi memotong lebah
madu di Lili – Fatuleu. Saat mereka kembali ke Amfoang, ketika tiba
di suatu tempat yang bernama Fatupanu, mereka melihat seorang petani
sedang memangkas pohon putih besar. Ketiga orang Amfoang itu
berhenti dan mengejek petani tadi dengan menggunakan bahasa Dawan. Orang
yang mengejek tadi bernama Niti Sau Nakmofa. Katanya:”
Waaah…..waaah….waaah….. Eeeh, Ko nai en. Ije teku-teku oni abu po ka
mak bula. Bati mak bula oni nasaun natau mou ne. Ejekan itu diulang
hingga tiga kali dengan menggunakan kalimat yang sama. Petani yang
diejek itu adalah orang dari Fatuleu yang bernama Siku Smaut. Sedangkan
ketiga orang Amfoang yang mengejek tadi masing-masing bernama: Niti
Sau Nakmofa, Bano Masu, dan Bano Koma/Tahanael. Arti dari bahasa ejekan
yang diungkapkan ketiga orang Amfoang tadi adalah: “Dasar sarang lebah
yang tidak bersengat, maka perut kita menjadi kembung. Tetapi seandainya
lebah itu bersengat pasti kita makan tidak terjadi seperti ini.”
Ungkapan di atas bermaksud untuk memanas-manasi serta memuaskan nafsu
berperang antar suku sekaligus bermaksud untuk merebut wilayah
kekuasaan kerajaan. Setelah ketiga pengejek dari Amfoang lewat,
turunlah Siku Smaut dari pohon putih dan bergegas menuju rumahnya untuk
menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada keluarganya.
Kemudian
Siku Smaut mengundang seorang sahabatnya yang bernama Pato Lopo.
Keduanya mulai mengatur posisi untuk berperang melawan Suku Amfoang.
Perang antara kedua suku yakni Amfoang dan Fatuleu pun tak
terhindarkan. Dengan pecahnya perang antar kedua suku ini, sempitlah
sudah wilayah perburuhan dan pengambilan hasil hutan. Penduduk kedua
suku ini amat berhati-hati dan saling menaruh curiga antara satu
dengan yang lainnya. Jika warga kedua suku ini saling bertemu maka
langsung terjadi pertempuran. Si korban atau orang yang tewas dalam
pertempuran biasanya kepalanya dipenggal dan dibawa ke benteng
pertahanan. Perang suku ini terus terjadi antara tahun 1700-an sampai
tahun 1800-an. Setelah datangnya Pemerintahan Belanda baru ada upaya
membuat kesepakatan perdamaian antara kedua suku tersebut.
Kesempatan Pemerintah Belanda untuk masuk dalam permasalahan kedua
belah pihak adalah melalui penjualan obat senapan (bubuk mesiu). Dari
situ Pemerintah Belanda dapat mengetahui permasalahan sebenarnya yang
terjadi di antara kedua suku itu sekaligus mendapatkan jalan guna
mengupayakan perdamaian antara keduanya. Upaya perdamaian yang
diprakarsai oleh Pemerintaha Belanda ini disambut baik oleh kedua
belah pihak. Setelah itu ditetapkanlah Netenbejakase Anakan (sekarang
dikenal dengan nama Nainak Fatu dan masuk dalam wilayah Desa
Tanini–Kecamatan Takari) sebagai tempat perundingan perdamaian. Mereka
menyepakati tempat itu karena tempat itu berada di ketinggian dan
dapat memandang secara luas baik kearah Fatuleu maupun Amfoang.
Pada
waktu yang ditetapkan, hadirlah Raja Fatuleu, Tusala Pitai, dan Raja
Amfoang yang diwakili oleh Fetor Lelogama, Anpupu Baiuf – masing-masing
bersama dengan panglima perang dan rakyatnya. Sementara dari Pemerintah
Belanda diwakili oleh empat orang juru damai yakni Tuan Siso, Tuan
Hoppi, Tuan Pello, dan Tuan Zet yang dalam tutur sejarah dikenal dengan
sebutan Siso-Hoppi-Pello-Zet.
Dalam kesempatan pertemuan perdamaian
itu yang memimpin acara adalah Tuan Pello karena kemampuannya dalam
menggunakan Bahasa Dawan. Tuan Pello memulai acara dengan menawarkan
lebih dahulu kepada Raja Amfoang untuk menentukan tapal batas
kerajaannya dengan Kerajaan Fatuleu. ”Menurut Tuan Raja Amfoang,
dimanakah kita menyetujui tapal batas antara Kerajaan Amfoang dengan
Kerajaan Fatuleu? Maka Tuan Raja Amfoang menunjuk Oelnunuh dan
berkata:”Oelnunuh turun ke kali Oesusu-Oelnunuh turun ke kali Alili.”
Kemudian Tuan Pello bertanya lagi kepada Raja Amfoang:”Kalau demikian,
dimanakah istana Tuan Raja Fatuleu? Sang Raja Amfoang menunjuk Gunung
Fatuleu. Kemudian kata Tuan Pello,”Tidakah Tuan Raja keliru?
Setelah
itu Tuan Pello menanyakan pertanyaan yang sama kepada Tuan Raja
Fatuleu,”Kalau menurut Tuan Raja Fatuleu dimanakah kita menyepakati
tapal batas kerajaan antara Fatuleu dan Amfoang? Maka sang Raja Fatuleu
menunjuk Bukit Lulun dan berkata,” Dari Bukit Lulun turun ke kali
Naitokoh, dari Bukit Lulun turun ke kali Noetoko. Kemudian Tuan Pello
bertanya kepada Raja Fatuleu,”Jika demikian dimanakah istana Raja
Amfoang? Lalu Raja Fatuleu menunjuk bukit Lelogama. Kemudian kata Tuan
Pello,”Bukankah tuan-tuan raja ini keliru? Bagaimana masing-masing
mengklaim istana tiap raja? Lalu masing-masing panglima perang
mempertahankan hak wilayahnya dengan mengatakan,”Biarkan kami berperang
dulu tuan!. Tuan Pello lalu bertanya kepada panglima perang Fatuleu,
Siku Smaut,”Kalau menurut tuan panglima perang dari Fatuleu, dimanakah
tapal batas antara Fatuleu dan Amfoang? Jawab Siku Smaut,”Menurut saya
tapal batas jangan melewati lembah yang panjang, karena kalau tidak
maka suatu ketika akan terungkit lagi. Tapal batas harus melalui kali.
Lalu Tuan Pello bertanya lagi menanggapi usul panglima perang Fatuleu,”
Menurut tuan panglima, kali manakah yang tuan maksudkan? Maka jawab
sang Panglima,”Noeniti namat Nefonono, Noeniti nahae Bimanu, Noelka
namat Nefonono, Noelka nahae Noebesi.”Ini berarti: Noeniti berhulu di
Nefonono, Noeniti bermuara ke Termanu, Noelka bermuara ke Noelbesi,
Noelka berhulu di Nefonono. Lalu Tuan Pello juga bertanya pula kepada
Panglima Amfoang, Niti Sau Nakmofa,”Menurut Tuan Panglima dari Amfoang
dimanakah tapal batas antara Amfoang dan Fatuleu? Sang panglima dari
Amfoang pun menjawab,”Saya setuju dengan apa yang diusulkan Panglima
Fatuleu, Siku Smaut. Noeniti namat Nefonono, Noeniti nahae Bimanu,
Noelka namat Nefonono, Noelka nahae Noebesi.” Kemudian Tuan Pello
bertanya kepada semua lapisan masyarakat yang hadir baik dari Amfoang
maupun dari Fatuleu,”Apakah kalian semua setuju dengan penetapan tapal
batas yang diusulkan oleh kedua panglima kerajaan ini? Semua lapisan
masyarakat mengatakan,”Kami sangat menyetujui penunjukan tapal batas
kami oleh kedua panglima kami itu.” Semua permufakatan ini dirundingkan
di atas bukit Bijakase Anakan yang dikenal dengan nama Nainak fatu
hingga saat ini.
Kemudian Tuan Pello bersama ke tiga temannya bersama
kedua sang Raja dan kedua panglima perang termasuk semua lapisan
masyarakat yang hadir baik Amfoang maupun Fatuleu sama-sama turun ke
kali Noeniti yang dimaksudkan tadi, semua ramai-ramai membuat suatu tugu
perjanjian antara Fatuleu dan Amfoang sampai turun temurun. Setelah
mereka turun dan tiba di kali maka mereka sepakati tempat tugu itu
dibangun, dan akhirnya mereka menempatkannya disebelah kali dari wilayah
Amfoang, dan tugu tersebut dibangun bersama oleh masyarakat kedua
kerajaan tersebut diatas dengan ukuran ± 20 x 3m dan tingginya 60 cm.
Setelah tugu itu selesai dibuat, maka pemerintah Belanda ikut mau
membuktikan apa perdamaian mereka itu sungguh-sungguh atau hanya bahasa
jaminan saja kapada pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah Belanda
menghimbau mereka untuk membuat suatu jamuan wujut nyata tanda
perdamaian yang sah dari kedua pihak terkait. Sehingga dari amfoang
membawa seekor babi besar dan Fatuleu membawa seekor kerbau umur dua
adik dan dari pemerintah Belanda menyiapkan minuman beralkohol dua
keler. Setalah himbauan pemerintah disambut baik oleh kedua masyarakat
itu, lalu kedua ternak itu dibunuh dan dagingnya dibagi bersama dan
makan bersama. Dan sebelum mereka makan bersama diawali dengan upacara
sumpah adat yang dipimpin oleh Tuan Pello. Oleh sebab itu Tuan Pello
minta supaya kedua kepala ternak itu dibawah ke tugu, sebelum upacara
sumpah adat dimulai. Pemerintah menyuruh mempersiapkan dua buah lubang
disisi kiri dan kanan dari tugu itu. Sesudah kedua lubang itu disiapkan
masyarakat, maka Tuan Pello dan ketiga temannya yang lain memanggil
kedua Panglima perang suku tersebut diatas yaitu Siku Smaut dari Fatuleu
dan Niti Sau / Nakmofa dari Amfoang. Kedua panglima perang tersebut
merekalah yang atas nama untuk mengangkat sumpah adat yang dipimpin Tuan
Pello. Maka sesuai sejarah leluhur kami menyangkut upacara sumpah adat
pada saat itu, demikian dituturkan dibawah ini :
Tuan Pello ; “Hari
ini sesuai kesepakatan kamu, yang tidak dipaksakan siapapun ; Allah
Pencipta Alam Semesta, melihat dan mendengar bahkan alam semesta yang
memangku kita telah melihat, mendengar dan bersaksi tentang kespakatan
tapal batas yang kamu tunjuk ini tidak akan dirubah oleh siapapun sampai
turun temurun”. Apabila dikemudian hari ternyata ada kekeliruan dari
salah satu pihak antara lain : seandainya Amfoang yang mengangkat
kembali tapal batas ini maka Fatuleu mengangkat senapanmu dan mengisinya
kedalam alat senapan ini, lalu kamu ambil biji pelor ini dan diisikan
kesenapanmu lalu tembak orang Amfoang hanya satu-satu skat lalu matilan
dia. Begitu juga sebaliknya, jika dikemudian hari dari Fatuleu yang
mengangkat kembali tapal batas ini, maka kamu orang Amfoang mengambil
senapanmu, dan mengisinya dengan obat senapan dan pelor senapan yang ada
pada kamu, lalu kamu akan tembak orang Fatuleu, hanya sat-satu skot
saja lalu matilah dia. Sesudah ucapan sumpah adat itu berlalu, maka Tuan
Pello mengambil lagi dua gelas yang dibuat dari bambu sama-sama diisi
air, dicampur dengan obat senapan dan merendamkan pelor senapan
masing-masing gelas 1 biji, kemudian memberikan kepada kedua panglima
itu masing-masing meminumnya. Kemudian Tuan Pello itu menyuruh membawa
lagi kedua kepala ternak yang dipotong tadi, yakni kepala babi dan
kepala kerbau itu lalu dikuburkan ke dalam kedua lubang yang digali
tadi. Maknanya: kepala babi yang senantiasa suka mencungkil-cungkil
masalah dan kepala kerbau yang tanduknya senantiasa suka
menanduk-nanduk teman kerbau yang lain, hari ini juga dikubur dan
dihilangkan jejak-jejak masa lalunya, agar jangan terulang lagi untuk
merusak keadaan. Sesudah itu Pemerintah Belanda atas nama Tuan Pello
mengambil lagi barang-barang bukti yang lain yang akan disimpan oleh
masing-masing panglima untuk menjadi barang bukti dan saksi apabila
dikemudian hari tapal batas ini terungkit kembali. Masing-masing
panglima diserahkan 1 lembar bendera Belanda, 1 pout obat senapan, 1
biji pelor senapan tumbuk, 1 buah benda yang dibuat dari perak asli
berbentuk tanduk kerbau. Barang-barang diatas diberikan kepada kedua
panglima tersebut, yaitu Siku Smaut dari Fatuleu dan Niti Sau / Nakmofa
dari Amfoang. Sampai saat ini barang-barang bukti tersebut masih ada dan
disimpan di rumah adat mereka. Kemudian tempat tugu itu dibangun diberi
nama : Alakat Naimoni, artinya : Dari tempat ini dapat menghidupkan dan
menghubungkan kembali hidup persaudaraan. Kemudian mereka sepakat dan
memberi kepercayaan kepada seorang panglima dari Amfoang dengan
dilengkapi pula dengan sepucuk senapan tumbuk untuk mengawasi tugu
perdamaian itu sampai turun - temurun. Nama panglima itu Bano Kama
Pahanael, tahun 1990–an senapan tersebut dapat dioperasikan. Setelah
selesai acara di Alakat Naimoni; mereka ramai-ramai datang lagi ke
Nefonono dan menanam lagi sebatang tiang kayu menjadi tiang tapal batas
diujung danau Nefonono kebagian Noeniti, dan sebatang tiang lagi diujung
danau Nefonono kebagian Noelka. Selanjutnya batas tiang itu menyusuri
sebuah kali kecil dengan nama Nono Nai Sole sampai turun di Oesinas dan
mulai serong keluar mereka ramai-ramai menumpuk lagi tumpuan batu dengan
diberi nama Bakitba, lalu menyusur lagi sebuah kali kecil turun ke
Noelka. Kemudian pada tahun 1900 – an kedua tiang diujung Nefonono lapuk
dan tumbang. Lalu seorang tokoh masyarakat adat yang bernama Fenu Asone
/ Kobo pergi menghadap Fetor Lelogama Pou Baiuf untuk menanam ganti
tiang tapal batas yang lapuk dan tumbang di Nefonono itu.
Pada tahun
1900-an, tiang-tiang tapal batas di Nefonono bagian Noeniti dan
Noelka sudah lapuk dan jatuh ke tanah dari tempat semula tiang-tiang
dipancangkan. Tidak ada upaya dari kedua suku baik Amfoang maupun
Fatuleu untuk menanam kembali tiang-tiang tapal batas yang telah
diletakkan oleh Panglima Perang Amfoang dan Fatuleu pada tahun 1800-an
sebagai bukti tapal batas.
Kemudian pada tahun 1929, Fenu Asone –
Kobo dari masyarakat adat Oh’aem menghadap Fetor Lelogama, Baiuf, secara
adat dan memberikan laporan secara lisan menyangkut dengan kedua tiang
tapal batas tersebut yang telah lapuk dan rencana untuk memperbaharui
dengan tiang tapal batas yang baru. Laporan itu disambut baik oleh
Fetor Lelogama, Baiuf. Setelah itu tokoh adat Fenu Asone Kobo kembali ke
Oh’aem dan mengatur penjemputan sang Fetor Lelogama ke lokasi tapal
batas di Nefonono. Sang Fetor datang dan dijemput oleh segenap
masyarakat Oh’aem kemudian dilanjutkan dengan penanaman kembali dua
tiang baru tapal batas ditempat bekas tiang lama dengan tidak
mengurangi atau menambahkan sejengkal tanah baru baik untuk kepentingan
Amfoang ataupun Fatuleu. Pada saat penanaman kembali tiang-tiang itu,
seekor kerbau jantan yang berumur dua adik dikorbankan dalam rangka
mengingat kembali arwah-arwah para pejuang suku. Tanduk kerbau tersebut
diikat pada tiang penanda tapal batas yang ada di Noeniti.
Sesudah
selesai pemancangan tiang tapal batas, sang Fetor Lelogama diantar
kembali ke Lelogama dan masyarakat Oh’aem pun pulang ke Oh’aem.
Selang
beberapa hari kemudian, Fetor Kauniki yakni Neno Pahsunaf bersama
seorang tokoh adatnya yang bernama Neno Seko serta seluruh lapisan
masyarakat Kauniki mengungkit kembali penanaman tiang-tiang tapal batas
antara Fatuleu dan Amfoang di Nefonono dalam pertemuan antara Fetor
Kauniki dan Fetor Lelogama yang dihadiri oleh tokoh-tokoh adat dan
masyarakat Oh’aem maupun Kauniki. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh
pihak Fetor Kauniki dan para tokoh adatnya. Pertama, pada saat
tiang-tiang tapal batas diperharui mereka tidak diundang dan mengklaim
telah kehilangan lebah sebanyak 2 kepala yang diduga diambil pihak
Oh’aem. Kedua, mereka mempertanyakan perihal penggalian kembali kepala
kerbau yang telah disepakati bersama ditanam di Alakat Naimoni/Noeniti
dan kemudian digantungkan di atas tiang tapal batas karena hal ini
seolah-olah mengungkit kembali perang suku antara Amfoang - Fatuleu.
Dua
alasan kuat yang dikemukakan pihak Kauniki memaksa Fetor Lelogama dan
tokoh-tokoh adat Oh’aem menyerah dan minta damai secara adat budaya
orang Timor. Cara perdamaiannya adalah dengan sepakat untuk merubah
tapal batas yang lama dengan tapal batas baru. Kalau tapal batas yang
lama mencakup Nefonono, Nononaisole, Oesinas, Bokitba, Noelka maka
penetapan yang baru adalah Nonofael, Fatupeas, Bestuf, Fatubuni, Nono
hausisi, Noelka. Tiang-tiang tapal batas yang ditanam ditempat semula
dipindahkan ke tapal batas yang baru oleh kedua Fetor bersama
tokoh-tokoh adat dan masyarakat Kauniki dan Oh’aem. Tiang-tiang itu
diatur sebagai berikut: Tiang jurusan Noelka dipindahkan dan ditanam
diujung Fatubuni. Sedangkan tiang tapal batas Noeniti dipindahkan dan
ditanam di Fatupe’as, tiang tapal batas Bestufe dipindahkan ke Fatubuni.
Setelah selesai penetapan tapal batas yang baru disusul dengan
perjanjian secara adat oleh kedua Fetor dan tokoh-tokoh adat dari
Kauniki dan Oh’aem serta disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam perjanjian ini sebagai tanda bukti masing-masing suku memberikan
satu keping uang ringgit Belanda kepada kedua Fetor dan kedua Fetor
mengembalikannya kepada masing-masing tokoh adat sebagai bukti tapal
batas baru antara kedua suku tadi. Sesuai dengan kesepakatan antara
kedua Fetor, Neno Pah Sunaf diminta untuk menyampaikan sumpah diantara
kedua suku yakni Oh’aem dan Kauniki. Sumpah itu isinya: Tapal batas
ini tidak boleh dipindahkan siapapun. Kalau dari pihak Oh’aem mengulang
lagi maka tapal batas ini akan digeser lagi ke Nuabena, menyusur kali
Nuabena - Noeniti, lalu Nuabena – Bisbot – Noelka.
Kalau dari pihak
Kauniki yang menggeser tapal batas ini maka tapal batas ini kembali ke
tapal batas yang lama yakni Nefonono – Noeniti – Nefonono – Nononaisole –
Oesinas – Bakitba – Noelka.
Setelah sang fetor selesai membacakan
sumpah kepada kedua suku di atas, dilanjutkan lagi dengan penyerahan
uang ringgit Belanda sebagai bukti janji tapal batas di atas. Uang
dari pihak Oh’aem diserahkan kepada Nenoseko mewakili tokoh adat Kauniki
sedangkan uang dari pihak Kauniki diserahkan kepada Fenu Asone Kobo
mewakili tokoh adat Oh’aem. Dengan penyerahan uang ringgit Belanda
kepada masing-masing pihak maka selesailah masalah tapal batas yang
kedua di Bestufe/Nefonono pada tahun 1929.
Tahun 1930, masyarakat
Kauniki mulai menghuni daerah yang direbutnya dari Amfoang disertai
dengan pembangunan rumah di Ekam dan penanaman tanaman umur panjang
seperti mangga, nangka, pinang, kelapa, yang masih ada hingga hari ini.
Nama-nama oknum yang membangun rumah pertama kali di Ekam antara lain
Neno Seko, Sani Atetu, Sobe Bani. Mereka juga membuka kebun hingga
batas Hausisi, sedangkan di Nefonono – Bestufe mereka hanya mengambil
hasil hutan seperti madu. Tahun 1930 ada juga masyarakat Oh’aem yang
membuka kebun di perbatasan Fatubuni – Bestufe – Fatupe’as. Mereka itu
antara lain: Fenu Asone Kobo, Liu Taebenu, sobe Tabelak, Afu Bilo, Muti
Kau Malafu.
Tahun 1952, Sobe Kono baru mulai membangun rumah dan
membuka kebun di Bestufe, daerah perbatasan dengan Oh’aem, namun tidak
melewati batas sebagaimana yang ditetapkan ulang tahun 1929.
Tahun
1964, tiga orang Oh’aem yakni Arnolus Tanesib, Nikolas Baitanu, dan
Thomas Kobo membuka kebun dekat Bestufe namun tidak melanggar batas
sebagaimana yang ditetapkan pada tahun 1929 dan mereka masing-masing
menanam anakan kasuari dan masih hidup hingga saat ini.
Tahun 1978,
seorang warga Oh’aem yang bernama Fredik Kobo membuka kebun disamping
kebun lama yang pernah digarap Arnolus Tanesib namun tidak melanggar
tapal batas yang ditetapkan tahun 1929. Namun salah seorang masyarakat
dari Desa Kauniki yang bernama Bertolens Kono menduga Fredik Kobo
membuka kebun di wilayah tanah milik Desa Kauniki. Bertolens Kono
kemudian melaporkan Fredik Kobo ke pemerintahan kecamatan. Karena proses
penyelesaian di tingkat kecamatan tidak membawa hasil yang memuaskan,
permasalahan ini kemudian ditangani langsung oleh pihak Pemda Kabupaten
Kupang.
Tahun 1979 ada upaya dari Pemda untuk memfasilitasi
penyelesaian masalah tapal batas ini. Yang hadir antara lain Bupati
Adi, Camat Fatuleu- Bpk.Miramangi, Camat Amfoang Selatan- Ruben Funay,
Camat Amarasi- Fecky Koroh, Mantan Fetor Lelogama, Mantan Fetor Kauniki,
Kepala Desa Kauniki, Kepala Desa Oh’aem, Para Tokoh Adat dari Desa
Kauniki dan Oh’aem serta semua lapisan masyarakat dari kedua desa.
Karena
masing-masing desa mempertahankan haknya atas tanah yang ada maka
Pemerintah Kabupaten Kupang mengambil suatu kebijakan jalan tengah
untuk dapat mengamankan kedua masyarakat tersebut dengan cara
menanamkan 2 pilar beton, yang masing-masingnya ditanam di wilayah
Oh’aem dan di wilayah Kauniki. Sementara itu tanah sengketa dikosongkan
serta tidak boleh diolah oleh kedua belah pihak. Apabila dikemudian
hari tanah itu dibutuhkan oleh masyarakat kedua belah pihak maka harus
diberitahukan kepada Pemerintah Kabupaten Kupang.Pada saat itu Sobe Kono
yang menghuni Bestufe, disuruh keluar dan tinggal di Oelfael.
Pada
tahun 1990-an, masyarakat Desa Kauniki melakukan penyerobotan lagi
dengan membangun 5 buah rumah di atas tanah sengketa, namun pihak
pemerintahan Kecamatan Takari (Camat Amalo) dan Kecamatan Amfoang
Selatan (Camat Melki Kana) mengusir penyerobot keluar dari tanah
sengketa.
Tahun 2001, masyarakat Kauniki dengan dukungan Camat
Amfoang Selatan (Ambrosius Sonbay,SH) masuk kembali ke tanah sengketa
dan menebang hutan untuk membuat kebun. Kali ini Antonius Tamelab
bahkan masuk hingga wilayah Oh’aem serta membabat pohon kesuari dan
mahoni milik Arnolus Tanesib dari Ohaem. Tahun 2003 masyarakat Desa
Kauniki mencabut pilar yang ditanam Bupati Kupang di Desa Kauniki dan
dipindahkan ke wilayah Desa Oh’aem. Pada tahun yang sama, masyarakat
Desa Kauniki membakar sebuah rumah milik masyarakat Desa Oh’aem atas
nama Obet Snae.
Dari penelusuran sejarah ini jelaslah bahwa
masyarakat Desa Oh’aem sudah berupaya memegang teguh kesepakatan
penetapan tapal batas pada penetapan kedua (1929) di atas yakni
Bestuf-Nefonono yang disepakati oleh kedua Fetor yakni Fetor Kauniki,
Neno Pah Sunaf dan Fetor Lelogama, Po’u Bai’uf dengan disaksikan serta
didukung oleh dua tokoh adat masing-masing Neno Seko, tokoh adat Kauniki
dan Fenu Asone Kobo, tokoh adat Oh’aem. Sebagai bukti adanya perjanjian
tapal batas ini, masing-masing diberikan uang Belanda satu ringgit.
Demikian jalannya sejarah batas tanah wilayah Amfoang – Fatuleu umumnya dan batas Oh’aem dan Kauniki khususnya.
Dituturkan Oleh
Andrias Malafu
(Masyarakat Adat Oh’aem)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar