BENCANA DISEKITAR KITA

MARI KURANGI RISIKO BENCANA SEKARANG JUGA

Jumat, 18 Mei 2012

“KELAPARAN” DI NTT : EMERGENCY ATAU DEVELOPMENT?


By Syamsul Ardiansyah / YAKKUM 


  “KELAPARAN” DI NTT : EMERGENCY ATAU DEVELOPMENT?


Kekeringan yang melanda sebagian wilayah di Propinsi Nusa Tenggara Timur dikabarkan telah menjadi penyebab terjadinya bencana kelaparan. Media melaporkan, sejak Agustus 2011 lalu, sebanyak 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan di daerah itu dilaporkan terancam rawan pangan serius. Konon, seperti diberitakan Vivanews, 6 warga NTT telah tewas akibat kelaparan.

Kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen menjadi alasan yang berulangkali dikemukakan media untuk mengabarkan situasi yang terjadi di NTT. Situasi ini memang riil terjadi di dan selalu menjadi masalah hingga saat ini di NTT. Pertanyaannya, mengapa justru hebohnya pada saat ini? 

Yulius Nakmofa dan PMPB pada saat berdiskusi bersama aktivis PRB di Seknas Walhi pada jumat (14/10). Menurutnya, pembangunan pertanian pangan di NTT memang salah kaprah. Seharusnya, pemerintah lokal mendorong pengembangan pertanian pangan jagung dan makanan-makanan pokok lain dan bukan memaksakan pembangunan sawah. Sawah dibangun tapi tidak ada air, ya tidak bisa digunakan, jelas Julius.

Selain itu, ketika masyarakat sudah sangat terbiasa dengan beras, infrastruktur pertanian padi setempat tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi beras pada tingkat propinsi NTT. Menurut kalkulasi pemerintah Provinsi NTT, kebutuhan padi per tahun mencapai 160 ribu ton per-tahun, sementara kapasitas sawah di NTT hanya bisa memproduksi 10 ribu ton per tahun. Selama ini, defisit kebutuhan tersebut dipenuhi dengan pengadaan padi dari luar NTT, tambah Julius.

Saat ini, ketika sawah tidak bisa diolah, sebagian warga yang mengandalkan penghasilan dari ekstraksi tambang mangaan. Masalahnya, per 6 September 2011 lalu, Badan Pengendali Lingkungan Hidup NTT mencabut ijin penambangan mangaan. Kebijakan ini menyebabkan para penambang mangaan tradisional yang selama ini menjual hasil tambangnya ke perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa memperoleh pendapatan. 

Bisa dibayangkan, ladang tidak tergarap, sementara mangaan tidak bisa dijual, tidak ada uang untuk membeli makanan,” jelas Julius.

Emergency atau Development?

Berdasarkan pengamatan CD Bethesda, seperti terpapar dalam diskusi 7 Oktober 2011 yang lalu, dikatakan bahwa saat ini memang terjadi kekeringan panjang di NTT. Sebagian wilayah memang mengalami masalah gagal panen. Secara umum, keadaan memang sulit. Namun, CD Bethesda mengingatkan intervensi yang dibutuhkan, bukan dalam bentuk respon darurat, namun mengoreksi strategi pembangunan pertanian pangan lokal yang berkelanjutan.

Paula Hartyastuti, Direktur CD Bethesda, menyatakan pihaknya akan mendorong koordinasi bersama pihak-pihak lain diantaranya pemerintah, NGO, ORA, Gereja, untuk meningkatkan kewaspadaan atas ancaman rawan pangan pasca kekeringan panjang sekaligus berupaya untuk mendorong pembangunan pertanian organik lahan kering. Intinya, skenario respon dini yang dikombinasikan dengan strategi pembangunan pertanian berkelanjutan.

Paparan dari hasil observasi CD Bethesda dan penjelasan dari Julius Nakmofa sedikit banyak memberikan gambaran tentang situasi riil yang saat ini dihadapi di NTT. Masalahnya memang kompleks dan kekeringan hanya menjadi salah-satu faktor penyebab kondisi rawan pangan di provinsi tersebut. Pertanyaannya kemudian, seperti apa bentuk intervensi yang dibutuhkan? Apakah dibutuhkan respon darurat dengan bahan pangan? Atau yang dibutuhkan lebih pada intervensi pembangunan?


Apa itu Kelaparan?

Pada saat ini, pemerintah mengirimkan bantuan beras sebanyak 50 ton dikirim ke Kecamatan  Amanuban Timur dan Amanuban Selatan. Bantuan tersebut diantar langsung oleh tim khusus bentukan pemerintah yang akan melakukan pendataan untuk memastikan jumlah warga terdampak. 

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten TTS, Martinus Tafui mengatakan, pemerintah setempat telah melakukan rapat kordinasi pada Kamis malam dan disepakati untuk segera mengambil langkah darurat guna mencegah jatuhnya korban tewas. Pertanyaannya, apakah upaya ini menjawab permasalahan kelaparan? 

Secara teknis, yang dimaksud dengan kelaparan adalah malnutrisi, yakni kurangnya sebagian atau seluruh elemen gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia. Terdapat dua jenis malnutrisi. Pertama, kekurangan protein (daging dan sumber protein lainnya) dan energy yang dihitung berdasarkan kecukupan kalori. Kedua, malnutrisi karena kekurangan mikronutrien (vitamin dan mineral). 

Pada saat ini terdapat upaya untuk memasukan obesitas sebagai bentuk ketiga malnutrisi. Masuknya obesitas sebagai salah-satu bentuk malntrisi memperluas pengertian yang umumnya terkait dengan kekurangan input nutrisi. Obesitas terjadi karena nutrisi yang diasup tidak berkualitas. Tidak hanya itu, obesitas juga terjadi karena kelebihan kalori atau kelebihan makanan-makanan sampah siap saji.

Ketiga bentuk kelaparan sebagaimana dipaparkan di atas memiliki keterkaitan yang jelas dengan kemiskinan. Kelaparan, baik karena kekurangan protein dan kalori, kekurangan mikronutrien, atau obesitas, adalah masalah-masalah yang berhulu pada rendahnya akses pangan bergizi bagi masyarakat miskin. Dengan begitu, kelaparan hanya bisa diatasi jika selaras dengan strategi pengentasan kemiskinan.

Dengan pengertian tertera di atas, kelaparan adalah satu jenis bencana yang secara umum terjadi secara perlahan dan selalu membutuhkan intervensi jangka panjang. Bencana kelaparan tidak mungkin bisa diselesaikan dengan hanya memperbesar pasokan pangan, meski dalam keadaan tertentu, memang dibutuhkan. Penyelesaian masalah dengan cara memasok makanan hanya bisa menyelesaikan “kelangkaan pangan”, bukan kelaparan.***

Tidak ada komentar:

Aktifitas PMPB NTT